Mengenai Saya

Foto saya
call me July /.\ Kind Autist. Overordinary girl in this extraordinary world :)

Rabu, 12 Juli 2017

Tak Ada Kiasan

Sayup mataku ingin mengatup malam ini

Namun, enggan sebab ada yang memutar di pusat peradaban logika

Yang pada akhirnya akan menghasilkan zat yang tak mampu menutup mata

Sudikah dirimu membaca ini, kekasih?

Sebab aku sedang tak perlu pembaca lainnya, yang kuperlukan hanya kamu.

Ingatkah engkau tentang percakapan kita di tengah malam beberapa hari atau bulan yang lalu?

Percakapan tentang kamu yang jalan-jalan di sebuah Mall bersama teman-temanmu

Apakah kau tau arti sebenarnya tawa yang ada di lubang headsetmu?

Tawa itu adalah palsu, karena yang sebenarnya adalah bibir yang maju tanpa kau tau

Bibir maju itu diutus hati yang sedang iri

Hati iri pun diutus imajinasi

Imajinasi yang menggambarkan betapa beruntungnya temanmu

Temanmu yang baru kau kenal belum lama tetapi sudah merasakan bagaimana serunya berjalan di Mall bersamamu.

Bersama orang yang telah lama mengenalku

Bahkan aku pun belum tau bagaimana serunya

Ada yang lebih dari ini, kasih?

Ketika ku mendengar bahwa target menikahmu adalah tiga tahun lagi

Lalu kutandas dengan siapa kau akan melakukannya

Hatiku telah berteriak aku dengan kencang

Namun, kau tau kasih?

Mencintai dengan penuh dan sungguh tak cukup untuk melisankan itu

Sebab ku tau perasaanmu

Cinta tak membuatmu bertahan lebih lama dari ini, kan?

Jika dibanding dengan nyaman berteman yang kau rasa

Ku lebih memilih untuk tak mengungkapkan cinta

Sebab ku juga tak ingin menanggung resikonya

Resiko kepergianmu sebab risih dengan perasaanku

Aku tau itu

Namun, kasih?

Apakah kau tak ingin tau pula?

Tentang bagaimana menjaga perasaanku agar tak terus-menerus berharap kepadamu

Seharusnya kau tau caranya, sebab tak mungkin kau tak tau perasaanku

Ku pernah mengatakannya meskipun tak sering

Dan itu tak mungkin mudah berubah bila dilihat kehadiranku di hidupmu

Jika kau tak sudi mempunyai perasaanku

Seharusnya kau tak perlu melambungkan diriku

Sebab posisi lambung membuatku berharap dan berharap lagi

Sudahlah, kasih.

Ku bosan dengan kiasan sebab pasti kau tak memahaminya.

Intinya adalah; aku cinta, tapi aku tak berani bilang

Karena ketika aku bilang


Kau akan selesai dengan “kita”, kan?

Jumat, 19 Mei 2017

Kau Kira Kau Tidak Pernah Salah

Kau kira ini mudah, kasih?

Kau kira mudah bertahan dalam keadaan seperti ini

Keadaan yang memaksaku untuk tetap baik-baik saja.

Setelah kau sampai pada bait ini, ketahuilah bahwa aku tidak pernah baik-baik saja.

Kau kira ini tidak susah, kasih?

Kau kira tidak susah berusaha tidak membawa perasaan.

Perasaan tiap-tiap kali aku mendengar suara sumbangmu menyanyikan lagu.

Lagu romantis yang melibatkan pihak betina pun jantan menyatu.

Kau kira ini mudah, kasih?

Kau kira mudah mengganti senyuman menjadi cemoohan.

Cemooh untuk menutupi salah tingkahku tiap kali lisanmu menggetarkan sukma.

Cemooh untuk mensugesti agar perasaanku tak selebrasi terlalu lama.

Kau kira ini tidak susah, kasih?

Sebenarnya aku ini harus bagaimana?

Sebenarnya kau ini maunya apa?

Sebenarnya kita ini sebagai apa?

Kau kira ini mudah, kasih?

Kau kira mudah di ambang batas seperti ini.

Di ambang batas antara lanjut atau selesai.

Lanjut untuk terus berjuang.

Atau selesai lalu kesepian.

Kau kira ini tidak susah, kasih?

Kau kira tidak susah bermimpi untuk berjalan bersama.

Aku sebagai kaki kanan, dan kau pasangnya. Atau sebaliknya.

Aku yang ingin terus berjalan, sedangkan kau hanya diam.

Menunggu kalau-kalau ada yang datang, menggantikan peranku sebagai kaki kanan.

Kau kira ini mudah, kasih?

Kau kira mudah mengetahui tentang seseorang.

Seseorang yang selalu kuprioritaskan di segala keadaan.

Namun, ia tak pernah sedikitpun memprioritaskan diriku dalam tiap keadaannya.

Dan ia itu adalah kau.

Tidak maksud untuk pamrih.

Aku hanya ingin tahu kapan tanaman pariku tidak tumbuh suket teki.

Setelah sampai pada bait ini aku pun tahu.

Bahwa jawaban kau atas tanda tanya tadi hanyalah; mudah dan tidak.

Sebab kau pun tak merasakan.

Sebab juga telah dapat dipastikan jika nantinya kau menyalahkanku.

Menyalahkan atas segala jatuh cinta yang kulakukan di masa lampau.

Menyalahkan atas segala jatuh cinta yang kulakukan tanpa kau inginkan.

Menyalahkan atas segala jatuh cinta yang ternyata tidak pernah hilang,

Meski sering terganti, walau tak terlalu lama, sebab kau adalah rumah ku kira.

Menyalahkan atas segala perasaan yang selalu kubawa dimana pun kau berada.

Menyalahkan atas segala-galanya yang berhubungan tentang perasaanku terhadapmu.

Kau tidak pernah salah, kasih.

Sebab kau kuat karena mampu tak membawa perasaanmu di mana pun kamu berada.

Sebab kau kuat karena mampu menyanyikan lagu romantis

tanpa perlu jantungmu berdetak lebih kencang dari biasanya.

Intinya, aku lemah pun aku salah.

Dan kau?


Kau kuat pun kau tidak pernah salah. 

Kamis, 18 Mei 2017

Putri?

hoaaaaammmmmmm.....” Uli menguap perlahan, berharap telinga yang sedang bertransformasi menjadi besi canggih milik orang yang sedang di seberang sana tidak mendengarkan.

Kamu ngantuk, yaaaa?” tanya orang tersebut menyelidik.

Hehe enggak kok. Mataku masih 100watt, kak.” Jawab Uli berbohong, padahal matanya sudah segaris. Namun, demi mendengar suara ajaib dari seberang sana, Uli rela menghiraukan kantuknya.

Sebentar, yo. Aku mau ngetik dulu.

Siaaaaappppp!” dengan nada –pura-pura-- semangat Uli menanggapi.

Seperenampuluh menit kemudian.

halooooo.....” suara dari seberang kembali menyala, tetapi mata Uli sudah sedikit terlelap meski belum sepenuhnya.

yaa, halooooo.....” jawab Uli sekenanya sambil memaki dirinya sendiri dalam hati mengapa begitu mudah untuk tertidur padahal sedang dalam aksi pura-pura.

tuh kan kamu udah ngantuk, bobo sana, besok juga kuliah, kan?

heheh, ngantuk dikit kok. Btw itu ada suara, kamu lagi main CS?

hehehehe enggak, bukan CS tapi ini PB.” Jawab suara dari seberang, mungkin dengan meringis.

hmmmm udah bakal gak tidur kalau jam segini baru memulai ngegame.” Gerutu Uli.

“udah kamu tidur aja sana, udah ngantuk juga, besok kuliah. Aku juga tidur kok, tapi nanti.

nantimu itu lamaaa, palingan juga nanti bobomu jam 5 pagi.

enggak kok. Ya kondisional aja sih, mungkin sejam lagi.

preeeeeeeetttttt.....” Uli kesal.

ya sejam matiin PB, sejam buka CS, sejam matiin CS, sejam buka DOTA, gitu terus wes. Hahahahaha” tanpa dosa dan tertawa sangat renyah.

hmmm.... jadi ingin ngomong kasar deh” gerutu Uli lagi dan lagi.

yaudaaaah, tinggal ngomong KASAR toh, udah...

mboooooh....

mesti lho bilang e pengen ngomong kasar tapi ternyata bilangnya emboh terus. Tiduro kok.

iyawes aku tidur.” Menyerah, akhirnya Uli mengalah untuk tidur. Bukan semata karena bosan berdebat, melainkan mengalah. Uli mencoba membuat asumsi sendiri bahwa menyuruh tidur bukanlah bentuk ketakutan seseorang jika besok terlambat, melainkan karena ia tak ingin diganggu dalam misi menyelesaikan permainannya.

nah, gitu, yawes, assalamualaikum.” Pamit suara di seberang.

waalaikumsalam.” Seraya memencet tombol merah tanda menutup telepon. Tidak seperti biasanya yang selalu saling menunggu siapa yang paling dulu menutup telepon, atau saling menyuruh menutup telepon satu sama lain, kali ini Uli tanpa basa-basi menutup teleponnya, hanya ingin membiarkan ia bermanjaan dengan permainannya, pun agar tidak dianggap sebagai suatu hal yang nyrimpeti hobinya.

Begitulah yang terjadi setiap malam. Saling lempar obrolan tidak jelas, kadang membaca puisi-puisi tidak jelas yang kutulis di lini masa sebuah platform yang digandrungi anak muda, kadang ia bermain gitar sambil bernyanyi meski suaranya sedikit sumbang, terkadang lagunya membuatku senyum-senyum sendiri, meskipun aku tahu bahwa lagunya tidaklah khusus untuk yang mendengar, melainkan karena ia ingin melagukan, itu saja. Dan diakhiri dengan perdebatan maha tidak penting masalah jam tidur dan kebiasaannya bermain permainan elektronik. Kesal, marah, kadang juga rasa ingin memukul muncul, tapi semua mudah hilang karena kemahirannya untuk membuat Uli tertawa terbahak-bahak lagi.

Mata Uli tetiba mengatup tanpa sadar, tetapi kakinya seperti berlari-lari tidak jelas. Kesadaran Uli sudah habis, mungkin hanya bunga tidur pikirnya, namun gerak kakinya makin kencang. Matanya yang sedari tadi mengatup, terbuka secara perlahan, terlihat segaris dan kemudian menjadi semakin lebar. Namun, pandangannya bukanlah sebuah atap ruang kamarnya, melainkan seperti kanopi setengah lingkaran berwarna merah. Kakinya tak lagi berlari kencang, tapi berhimpitan dan pantatnya seperti berselancar ke bawah.

Lambat laun, terlihat ada sebuah lubang bercahaya di bawah sana. Cahayanya sangat memekakkan mata, tidak ramah. Sampailah Uli di cahaya itu, terduduk ia di mulut kanopi yang sedari tadi menyita tatapannya. Kini matanya terpancing pada hamparan luas laut, entah benar laut atau mungkin samudra, entahlah, karena untuk disebut laut pun, belum pernah Uli memandang laut sebegitu luasnya.

Tanpa sadar, Uli terduduk di atas pasir yang sangat putih dan bersih. Air muka Uli kaget bukan kepalang, kemana perginya kanopi berwarna merah yang sedari tadi menjadi ‘alat’ perjalanannya. Gerakan apa yang Uli lakukan sehingga berpindah di atas pasir seputih ini. Terbayang potret wajah bapak dan ibunya yang saat ini sedang tidak bersamanya, Uli kebingungan. Mungkin untuk di tempat asing tanpa bapak dan ibunya sudah menjadi hal biasa, tetapi Uli merasa berangkat tanpa pernah pamit kepada bapak dan ibunya, Uli semakin kebingungan dan kemudian menangis. Pikiran tentang berangkat tanpa pamit, ditambah pula di bibir pantai laut luas seperti itu tidak ada satu orang sama sekali, pun pikiran tentang cara Uli pulang menambah kencang volume tangisnya.

Ditengah kesumbangan nada tangis Uli, datanglah sesosok perempuan separuh baya yang sangat amat cantik sekali. Dengan mengenakan jubah putih, semakin terlihat bersinar, wajahnya terang, matanya teduh, dan senyumnya menyejukkan membuat tangis Uli kian lama kian reda. Dengan tatapan heran, Uli memberanikan diri untuk membuka sebuah obrolan penting.

Anda siapa? Apakah penduduk pantai ini?” Uli sambil menyeka air matanya dan berusaha senyum seriang mungkin.

itu akan saya jawab nanti, nak putri.” Jawab perempuan itu seraya duduk di sebelah Uli dan menyeka air mata Uli.

mengapa begitu?” tanya Uli heran.

karena ada hal yang lebih penting dari itu, nak putri. Kamu sudah jauh-jauh ke sini, tidak untuk pertanyaan semacam itu.

Jauh? Seberapa jauh tempat ini dengan rumah saya, rasanya saya tadi berada di kamar saya, mengapa saya tiba-tiba ada di sini?” Uli semakin penasaran, dan lebih penasaran lagi ketika bahasa obrolannya menjadi sangat baku tanpa ia sadari.

itu akan saya jawab nanti, nak putri. Tapi, apa benar nak putri ini yang bernama Uli?

benar, nama saya Uli. Kalau ibu siapa? Dan jika ibu memanggil saya nak putri, saya harus memanggil bagaimana?” air muka Uli semakin heran, bagaimana perempuan itu bisa tahu tentang namanya.

Panggil saja, Ibu. Atau Ibu putri karena semua orang di sini juga memanggil saya seperti itu.

Baik, Ibu Putri.” Senyum malu serta sungkan terpaksa terpasang di wajah Uli.

Tapi apa yang Ibu putri akan beritahu pada saya? Perihal yang lebih penting dari sekadar di mana tempat ini.” Penasaran Uli tak bisa ditutup-tutupi.

Mari ikut saya ke rumah saya, sebentar lagi matahari akan tenggelam, udara di sini akan menjadi sangat dingin.

di mana rumah Ibu putri?

Tidak jauh dari sini, mari ikuti saya.

Kaki Uli bergembira karena bercumbu dengan pasir pantai yang sangat lembut kesukaannya. Ibu Putri tersenyum sendiri sebab melihat “tamunya” sangat bergembira. Di ujung sana terlihat bangunan tinggi yang sudah reot.

Selamat datang di rumah saya, Nak Putri.” Sambut Ibu Putri sembari membukakan pintunya, wangi aroma terapi langsung menyambar hidung siapapun yang ada di sana. Wanginya menenangkan, ramah di hidung.

Rumah yang terlihat reot dari luar itu pun menakjubkan dari dalam. Uli masuk satu langkah, kemudian ia terpanah dengan desain yang sangat disukainya, Shabby chic. Uli tidak sadar pada saat itu ia terlihat sangat kampungan.

Ayo, Nak Putri kita ke tempat yang akan lebih membuatmu terpanah.” Suara Ibu Putri mengagetkan Uli. Ibu Putri menggandeng tangan Uli seraya mengajak berjalan ke suatu tempat.
Uli duduk di sebuah ranjang di dalam ruangan yang seperti kamar impiannya. Bernuansa putih dengan aksen hitam dan banyak motif bunga daisy di sekelilingnya. Masih dengan tatapan heran yang terkesan kampungan.

Beristirahatlah di sini, Nak Putri. Apakah tempatnya tidak nyaman?” Ibu Putri seketika muncul setelah meminta izin untuk pergi ke dapur.

Nyaman sekali ini tempatnya. Seperti ada di dalam mimpi saya. Saya selalu menginginkan tempat yang seperti ini.

Sama sepertimu, Nak. Ibu juga suka dengan nuansa seperti ini. Menenangkan.” Jawab Ibu sambil menuangkan air minum ke cangkir kaca.

Apalagi ditambah aroma terapi dari lilin ini.” Lancang tangan Uli mengamit lilin yang ada di meja sebelah ranjang.
Ibu putri menempelkan jari telunjuknya pada lilin tersebut, kemudian lilin itu menyala. Wajah Uli berubah menjadi takjub meski ia takut untuk bertanya.

Nak Putri....” panggil Ibu Putri yang seketika merubah wajah takjub Uli.

Iya, Ibu Putri?” jawab Uli yang berusaha tersenyum menyembunyikan ketakjubannya.

Apakah Nak Putri sedang mencintai seseorang?” tanya Ibu Putri tanpa basa-basi.

Maksudnya?” jawab Uli malu-malu.

Jangan malu, Nak Putri. Sebab itulah kamu didatangkan ke sini. Jadi, ceritakan saja. Saya hanya ingin tahu. Tidak perlu malu. Anggap saja sedang mencurahkan isi hati kepada ibumu yang ada di rumah.

Tidak, Ibu Putri. Saya tidak malu.” Jawab Uli berbohong.

Baik. Begini saja. Apa Nak Putri kenal dengan pria bernama Ambo?” tanya Ibu Putri tanpa basa-basi. Detak jantung Uli terasa lebih cepat. Sungguh ajaib. Dengan pertanyaan tentang mencintai seseorang kemudian disambut dengan pertanyaan tentang Ambo.

Kenal, Ibu..” respon Uli malu-malu.

Melihat airmukanya, sepertinya Nak Putri ada sebuah rasa yang amat besar dengan nama itu?

Tidak, Ibu..” Uli masih terus menyangkal.

Tidak perlu berbohong, karena akan melukai dirimu sendiri. Kedatanganmu ke sini adalah untuk kebaikanmu, Nak.

Saya tidak mengerti, Ibu.. mengapa Ibu tahu tentang perasaan saya, pun tentang Ambo yang orang-orang dalam hidup saya saja tidak tahu.

Begini, Nak. Apakah Nak Putri memang benar mencintai Ambo?

Benar.” Singkat dan lirih suara Uli, entah mengapa. Tetapi memang jika ditanya kebanyakan orang di kehidupan nyata, Uli selalu menjawab dengan diam. Mungkin “iya” tetapi hanya dalam hati saja.

Nak, jawabanmu terdengar yakin, tetapi mengapa kamu tidak percaya diri dengan perasaanmu sendiri?

Saya takut, Ibu.” Uli menunduk, memikirkan ketakutan yang menghantuinya selama ini.

Takut apa, Nak?

Saya takut, Ibu. Saya takut jika saya berkata saya mencintainya, saya tidak bisa lagi berteman dengannya. Saya takut jika saya berkata saya mencintainya, Ambo akan dijadikan bahan olokan teman-temannya. Saya takut jika saya berkata saya mencintainya, saya akan menerima penolakan dari Ambo serta lingkungannya. Banyak yang saya takutkan, Ibu.” Pecah tangis Uli sebab pikirannya sendiri, sebab ketakutannya sendiri.

Dijadikan bahan olokan teman-temannya bagaimana, Nak Putri?

Saya tahu, Ibu. Saya tahu bahwa teman-teman Ambo adalah orang-orang dalam kalangan menengah ke atas. Sedangkan saya? Saya adalah kalangan menengah ke bawah. Saya tidak bisa seperti mereka. Saya merasa tidak pantas untuk berkumpul dengan mereka. Setiap berkumpul saya menjadi minder sendiri, Ibu.

Ibu Putri mengelus rambut Uli, membiarkan semua kalimat Uli yang sekian lama terpendam dapat tercurahkan sekarang.

Saya juga tahu, Ibu. Saya tahu bahwa Ambo juga tidak akan pernah mencintai saya. Tapi saya masih bersih kukuh untuk memahami kepedulian Ambo terhadap saya adalah bentuk cinta. Padahal saya tahu bahwa itu hanya bentuk pertemanan. Saya bodoh, Ibu. Saya tahu itu.” Suara Uli menjadi tidak jelas karena tangisnya sudah mencapai sesengukan. Namun Ibu Putri masih paham dengan apa yang dibicarakan Uli.

Tenang, Nak.” Sambil memeluk Uli dari samping menggunakan tangan kanan, tangis Uli padam seketika.

Nak Putri sudah berapa lama mencintai Ambo?

Terhitung dari bulan November 2012, saya merasa nyaman, kemudian lambat laun saya mencintainya, Ibu.

Bukankah pada tenggang masa tahun tersebut, Ambo pernah menjalin hubungan dengan perempuan lain?

Memang benar, pun saya juga menjalin hubungan dengan pria lain. Namun tetap saja, Ibu. Perasaan saya masih ada untuk Ambo. Masih banyak.

Apakah Nak Putri hanya jatuh cinta ke satu pria saja dalam kurun waktu selustrum ini?

Tidak, Ibu. Maaf. Karena saya merupakan perempuan yang sangat perempuan. Begitu banyak lelaki yang tiba-tiba membuat saya jatuh cinta. Tapi jika saya diajak serius dengannya, saya merasa hambar kembali. Pikiran saya kembali ke Ambo. Saya juga tidak tahu mengapa ini semua bisa terjadi.

Wajar, Nak Putri. Sebab kamu adalah perempuan yang sangat perempuan. Kamu tidak boleh bertahan kepada seseorang yang belum jelas kepastiannya. Ambo tidak jelas, kan? Dan juga tidak pasti, kan?

Uli hanya sanggup menunduk dan mengamini kalimat Ibu Putri.

Nak, dan untuk ketakutanmu itu hanya sebatas ketakutan saja. Bukankah semua makhluk hidup ini setara? Tidak ada kaum atas atau kaum bawah, semua sama hanya manusia sendiri yang membatasi pergaulannya. Coba jika kamu berkumpul dan menjadi satu dengan lingkungan Ambo, tidak akan mungkin terjadi sebuah penolakan. Sebab sejauh saya tahu, lingkungan Ambo sangatlah ramah dan baik. Nak Putri hanya termakan oleh ketidak percayadirian Nak Putri sendiri.” Masih dengan pelukan di tangan kanan dan mengelus rambut Uli.

Tapi, apakah benar Nak Putri yakin dengan keadaan Ambo yang seperti sekarang?” tandas Ibu Putri.

Keadaan apa, Ibu?” tanya Uli heran.

Tidak perlu saya jelaskan, Nak Putri sudah paham sendiri, kan?

Saya mencoba memahami keadaan yang Ibu Putri katakan. Dan saya mencoba yakin dengan perasaan saya sendiri. Tidak munafik jika saat saya benar-benar harus menjalani kehidupan yang sesungguhnya, saya tidak ingin merasa kekurangan, karena ketika saya hidup bersama Ayah dan Ibu saya, mereka selalu berusaha untuk kecukupan saya. Maaf untuk pernyataan ini, Ibu. Saya ingin sekali untuk memberi tahu Ambo. Bahwa usianya sekarang penuh dengan pertanggung jawaban. Saya ingin sekali menemaninya dari titik terendah, bersama-sama untuk mencapai titik tertinggi semampu kami. Tapi sangat tidak mungkin, Ibu. Ambo tidak melibatkan saya dalam kehidupannya. Saya hanyalah penonton dari drama kehidupannya, bagian tertawa dan menangis mendengar ceritanya, itu saja. Ia tidak pernah benar-benar melibatkan saya di dalam kehidupannya.” Pecah lagi tangis Uli sebab ingatannya terhadap kenyataan yang selama ini ia hadapi.

Nak, coba kurangi pikiranmu yang seperti itu. Coba jangan mudah mengambil kesimpulan sendiri. Itu hanya akan mematikan percaya dirimu. Saya yakin bahwa Ambo tidak seperti yang Nak Putri deskripsikan. Coba, Nak. Cobalah berpikir positif.” Ibu Putri memberi pesan. Menegakkan kepala Uli, kemudian menyeka airmata Uli.

Lalu, Nak Putri.. apa yang membuatmu sangat mencintai Ambo seperti ini?” Tanya Ibu Putri dengan tangan yang masih menyeka air mata Uli yang terus menerus keluar.
Uli berusaha menghentikan tangisnya, dan menutup mulutnya. Uli memilih diam, sebab tidak ada jawaban untuk pertanyaan sejenis itu.

Mengapa diam, Nak Putri? Apakah pertanyaan Ibu Putri tidak kau pahami? Ibu hanya ingin tahu apa alasan Nak Putri begitu mencintai Ambo?

Tidak ada alasan ibu.” Jawab Uli dengan singkat.

Bukankah mencintai seseorang selalu memiliki alasan, Nak? Entah karena dia tampan atau lain sebagainya?” Intonasi Ibu Putri meninggi, seperti ragu akan jawaban Uli.

Tidak, Ibu. Tidak ada alasan mengapa saya mencintainya. Dia tidak tampan, sama sekali tidak. Dia tidak penyayang, padahal saya sangat suka pada lelaki penyayang terutama terhadap lingkungannya. Dia egois. Dia pemalas. Dia tidak jelas. Dia menjengkelkan. Dia keras kepala. Tapi, tapi tetap Ibu Putri. Perasaan saya tetap sama.

Terkadang saya juga bingung dengan perasaan saya sendiri. Mengapa saya bisa sejatuh cinta ini pada Ambo. Hanya karena dia sering menerima curhatan saya, meskipun tidak selalu membuahkan solusi.  Itu pun juga dapat dilakukan oleh pria lain yang mendekati saya. Tapi, saya hanya merasa nyaman dengan dia. Saya tidak tahu, Ibu.

Terkadang saya juga ingin menyerah. Tidak tahan bertahan di dalam keadaan yang seperti ini. tapi, di saat pikiran saya mengajak untuk berhenti, dan berniat move on kadang hati saya sendiri yang menolak.” Cerita Uli panjang lebar demi menurunkan intonasi Ibu Putri.

Saya tidak menyangka jika perasaan Nak Putri akan sekompleks ini. Namun, Ibu Putri tahu betul jika Ambo seperti apa yang Nak Putri sebutkan. Ibu Putri tidak dapat berkata banyak. Hanya saja Nak Putri harus mengilhami sifat air. Dan anggap saja Ambo adalah batu. Sebab keras kepalanya seperti batu. Sekeras apapun batu, dia akan terkikis karena terus ditetesi air. Jangan pernah lelah untuk menjadikan batu mengikis. Segala usaha tidak akan mengkhianati hasil. Jika tidak dapat menyatu dengan Ambo, Ibu Putri pastikan jika Nak Putri akan bersatu dengan sosok lelaki yang terbaik untuk Nak Putri. Tenang saja, yang penting jangan berhenti berusaha.” Ibu Putri menasehati dengan memeluk Uli. Tangis Uli pecah membayangkan apa jadinya jika benar-benar tidak ada kesempatan untuk bersatu dengan Ambo.


Tangan Ibu Putri mengusap mata Uli dari samping. Uli menjadi terlelap, dan kemudian terbangun dengan atap kamarnya di depan mata. Air mata Uli berceceran membentuk lukisan di bantal.